Beranda | Artikel
Pagi Hari : Antara Tidur Dan Dzikir
Rabu, 28 November 2007

PAGI HARI : ANTARA TIDUR DAN DZIKIR

Oleh
Ustadz Ashim bin Musthofa

Pagi hari, tatkala udara masih terasa dingin, menggoda seseorang untuk tetap berdiam di atas ranjang, meski adzan Subuh sudah berkumandang. Atau usai mengerjakan shalat Subuh, seolah betapa nikmat melanjutkan tidur atau bermalas-malasan. Padahal ada satu aktifitas yang semestinya dilakukan seorang muslim pada pagi hari. Yaitu Rasulullah n mengajarkan, agar kita berdzikir pada waktu pagi hari, bukan justru melanjutkan tidur.

Tidur pagi (setelah subuh) bukanlah kebiasaan yang baik. Orang-orang yang dikenal “menyukai” kasur hanyalah para bayi dan orang-orang sakit, serta para pengangguran. Untuk kelompok pertama dan kedua, tidur mereka lantaran karena kondisi. Sementara untuk golongan ketiga, karena tuntutan “profesi” yang dampaknya memupuk kemalasan.

Namun adakalanya, orang yang tidak termasuk dalam golongan di atas, menggandrungi ranjang sehabis shalat Subuh. Bahkan seolah-olah menjadi kurikulum tetap yang tidak bisa diganggu gugat. Oleh karenanya, tulisan ini ingin menggugah semangat kita untuk memulai aktifitas sedini mungkin, di pagi hari yang berudara segar.

TIDUR PAGI BUKAN KEBIASAAN PARA SALAF
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Abu Wa’il Syafiq bin Salamah al Asadi, ia berkata:

Suatu hari, usai kami shalat Shubuh, kami pergi menemui ‘Abdullah bin Mas’ud. Kami mengucapkan salam di sisi pintu. Kami diizinkan masuk. Namun kami putuskan untuk menunggu sejenak (di luar).

Seorang budak berkata: “Tidakkah kalian masuk saja?”
Kami masuk, dan ia (Ibnu Mas’ud) sedang duduk bertasbih.
Dia bertanya: “Apa yang menghalangi kalian masuk, padahal sudah dipersilahkan?”

“Tidak apa-apa. Hanya saja kami mengira masih ada anggota keluarga yang masih tidur (sehingga kami tidak langsung masuk ke dalam),” jawab kami.

Ibnu Mas’ud berkata: “Kalian mengira keluarga Ibnu Ummu Abd (maksudnya ia sendiri) adalah orang-orang yang lalai?”

Ia meneruskan untuk bertasbih, sampai tatkala mengira matahari telah terbit, ia memanggil budaknya dengan bertanya: “Lihatlah, apakah sudah terbit?”

Budak itu melihatnya, tetapi belum terbit. Maka ia (Ibnu Mas’ud) meneruskan tasbihnya. Sampai ketika mengira matahari telah terbit, maka ia memerintahkan budak perempuannya: “Wahai, budak. Tolong lihat, apakah sudah terbit?”

Ia (budak itu) melihat, dan ternyata matahari sudah terbit. Maka Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhun berkata:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَقَالَنَا يَوْمَنَا هَذَا وَلَمْ يُهْلِكْنَا بِذُنُوبِنَا

“Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan hari kami ini, tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami”.[1]

Syaikh ‘Abdur Razzaq Al Badr berkata,”Dialog dalam atsar di atas mencerminkan gambaran secara jelas tentang kehidupan yang penuh dengan vitalitas dan tekad tinggi untuk mengoptimalkan waktu pagi hari di kalangan para salafush shalih rahimahullah , terutama para sahabat lantaran kedalaman ilmu din, sehingga mereka memberikan segala sesuatu pada tempatnya masing-masing.”[2]

Ketika Abu Wa’il dan kawan-kawannya datang kepada Ibnu Mas’ud, saat itu adalah waktu-waktu yang penuh berkah lagi berharga. Yaitu waktu untuk tekun dan melakukan dzikir kepada Allah, dan meningkatkan semangat menambah kebaikan. Hanya saja, tidak sedikit orang yang kurang memperhatikan. Waktu yang sangat berharga itu menjadi sia-sia, dilewatkan dengan tidur, bermalas-malasan dan patah semangat, atau disibukkan dengan perkara-perkara yang kurang bermanfaat. Apalagi jika mengawalinya dengan kegiatan yang diharamkan. Wal iyadzu billah!

Pagi hari laksana masa muda yang penuh dengan vitalitas, dan sore hari ibarat masa tua yang hanya menyisakan tubuh tanpa daya. Barangsiapa yang terbiasa dengan sesuatu kebiasaan pada masa mudanya, niscaya ia terbiasa mengerjakannya pada masa tuanya. Demikianlah, aktifitas seseorang pada pagi harinya akan mempengaruhi semangat kerja sepanjang harinya. Jika ia memulai dengan tekun, maka akan menyelesaikan harinya dengan penuh ketekunan. Jika mengawalinya dengan kemalasan, maka itulah yang akan dominan. Barangsiapa mampu mengendalikan hari, yaitu awalnya, niscaya seluruh harinya akan selamat dengan izin Allah. Dia akan ditolong untuk dapat mengerjakan kebaikan dan keberkahan. Ini seperti pepatah “harimu bagaikan ontamu, apabila yang pertama dapat engkau taklukkan, niscaya onta-onta di belakangnya akan mengikutimu”. Makna pepatah ini sejalan dengan pernyataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a’nhu : “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan hari kami ini, tidak membinasakan kami dengan dosa-dosa kami”.

TIDUR PAGI, BERBAHAYA!
Ibnul Qayyim berkata: “Di antara perkara yang dibenci di kalangan para salaf, yaitu tidur antara usai shalat Shubuh dan terbitnya matahari. Sebab, waktu-waktu itu adalah saat keberuntungan. Aktifitas yang dikerjakan pada waktu-waktu tersebut memiliki nilai istimewa. Bahkan kalau orang-orang telah berjalan semalam suntuk, mereka tidak diperbolehkan untuk beristirahat pada waktu tersebut sampai matahari terbit. Saat itu adalah permulaan hari dan kuncinya, waktu turunnya rejeki dan terjadinya pembagian rejeki dan barokah. Selain itu, (terhitung) saat itulah pergerakan hari bermula. Keadaan seluruhnya tergantung pada bagiannya. Maka seharusnya (kalau harus tidur), maka itu adalah tidur yang sifatnya darurat”.[3]

Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia melihat seorang anaknya tidur pada waktu pagi. Maka ia berkata,”Bangun, engkau tidur saat rejeki dibagi-bagikan”.[4]

Ibnul Qayyim mengingatkan kita: “Tidur pada pagi hari menghalangi datangnya rejeki. Sebab waktu pagi adalah saat pencarian rejeki oleh para makhluk. Pagi adalah waktu pembagian rejeki. Maka tidur pada waktu tersebut, akan menjadi penghambat menerima rejeki, kecuali karena alasan tertentu, atau kondisi darurat. (Tidur pagi hari) sangat berbahaya bagi jasmani, karena membuat malas badan dan merusak metabolisme yang diolah oleh tubuh. Akibatnya, (dapat) menyebabkan kegoncangan, kegelapan dan kelemahan fisik. Kalau itu terjadi sebelum buang air besar, bergerak dan olah raga serta menyibukkan lambung dengan sesuatu, maka itu merupakan penyakit berbahaya yang akan melahirkan berbagai penyakit”.[5]

KEKUATAN DZIKIR PAGI HARI
Shalat Subuh menjadi kegiatan fardhu pertama bagi seorang muslim setiap harinya. Hikmahnya pun banyak. Hal ini bisa dirasakan oleh setiap muslimin yang tidak melewatkan ibadah pembuka ini secara berjamaah di masjid.

Ditambah lagi dengan ibadah sunnah yang mengiringinya, seperti dzikir pagi yang dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengingatkan seseorang untuk senantiasa duduk tepekur mengingat Yang Maha Kuasa. Wirid-wirid dalam dzikir pagi tersebut mencakup berbagai makna agung. Di antaranya, pengakuan hamba sebagai makhluk yang lemah, pengakuan keesaan Allah ketika kita beribadah, penyerahan diri secara total kepada Allah, permohonan perlindungan kepada Allah dari segala bahaya. Ungkapan-ungkapan yang apabila diketahui dan dihayati, akan melahirkan keyakinan, optimisme dan meningkatkan semangat mengais kebaikan pada pagi itu. Ringkasnya, menekuni dzikir pada pagi hari akan melahirkan kekuatan dan semangat dalam menjalani aktifitas harian.

Ibnul Qayyim menceritakan,”Suatu kali, aku pernah menjumpai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah usai melaksanakan shalat Shubuh. Dia duduk sambil terus melantunkan dzikir kepada Allah Ta’ala sampai separo siang. Kemudian ia menoleh kepadaku, seraya berkata,’Inilah aktifitas pagiku. Jika aku tidak mengamalkannya, kekuatanku jatuh, atau pernyataan yang hampir serupa dengan itu’.”[6]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa memohon keberkahan bagi umatnya pada waktu pagi.

عَنْ صَخْرٍ الْغَامِدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا قَالَ وَكَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أَوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ وَكَانَ صَخْرٌ رَجُلًا تَاجِرًا وَكَانَ إِذَا بَعَثَ تِجَارَةً بَعَثَهُمْ أَوَّلَ النَّهَارِ فَأَثْرَى وَكَثُرَ مَالُهُ

“Dari Shakhr bin Wada’ah al Ghamidi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya, Allah! Berkahilah umatku pada pagi harinya”. Jika mengirim pasukan ekspedisi atau pasukan perangnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus mereka di pagi hari. Dan Shakhr adalah seorang pedagang. Maka ia mengirim dagangannya pada pagi hari. Dia menjadi kaya dan hartanya melimpah”.

Dari uraian tersebut di atas, maka pantaslah bagi kita untuk memperhatikan, agar kita bisa memanfaatkan waktu pagi hari dengan dzikir, sehingga mampu meningkatkan produktifas. Tidak terbuai dengan tidur yang melalaikan dan menjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tidur ada tiga macam. Tidur orang rusak, tidur orang berakhlak, dan tidur orang dungu. Adapun tidur orang yang rusak kepribadiannya adalah tidur pada waktu dhuha, saat orang-orang menyelesaikan urusan-urusan mereka, sementara ia terlelap dalam tidurnya. Tidur orang yang bermoral, adalah tidur qailulah ketika pertengahan hari. Dan tidur orang yang pandir adalah tidur ketika waktu shalat datang”.[7]

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita, sehingga mampu merengkuh setiap kebajikan dan mengikuti manhaj Salafus Shalih dan pengamalan mereka. Wabilahit Taufiq. (mas)

[Diangkat dari kitab Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar, Dr. Abdur Razaq bin Abdul Muhsin al Badr, Cetakan I, Tahun 1423, Kuwait]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
________
Footnote.
[1]. Shahih Muslim (1/564).
[2]. Fiqhul Ad’iyah wal Adzkar (3/45).
[3]. Madariju as Salikin (1/308).
[4]. Atsar ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma’ad (4/241).
[5]. Zadul Ma’ad (4/242).
[6]. Al Wabil Ash Shayyib hlm. 85-86.
[7]. Diriwayatkan oleh Al Baihagi dalam Asy Syu’ab (4/182). Ibnu Al Muflih membawakannya dalam Al Adab Asy Syar’iyyah (3/162).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2285-pagi-hari-antara-tidur-dan-dzikir.html